Mamaca
adalah salah satu seni olah vokal Madura yang merupakan media dakwah dan
pendidikan serta media kontemplasi dan pemahaman filsafat. Mulai berkembang di
Madura sebelum abad ke-15 (pra Islam). Mamaca biasanya dimainkan oleh dua orang
pemain, yaitu pembawa lagu dan panegghes.
Panegghes
merupakan juru makna yang bertugas menjelaskan arti dan isi dari lagu yang
dinyanyikan oleh pembawa lagu. Ia juga sebagai penerjemah tembang yang
dinyanyikan dengan bahasa Madura.
Mamaca
memiliki dua unsur penting, yakni seni sastra dan seni suara (vokal). Beberapa
nama lagu mamaca Madura antara lain, Artate, Kasmaran, Senom, Salanget dan
Dhurma. Cara membawakannya menggunakan gaya tekanan bahasa mirip aksen seorang
dalang dalam pertunjukan wayang. Ketika mamaca dilantunkan, biasanya diiringi seruling,
gambang, dan instrumen gamelan lain—yang dibunyikan dengan samar atau
lirih—dengan tujuan suara pembawa lagu menjadi lebih dominan. Dan tak jarang,
kegiatan mamaca hanya diiringi seperangkat kecil gamelan: gambang atau seruling
saja.
Ciri khas yang
paling menonjol adalah suara si penembang yang diembat-embat (vibrasi)
berkepanjangan, seakan tak ada putusnya antara bagian lirik lagu yang satu
dengan yang lainnya. Tembang tersebut menjadi terasa penuh dengan sentuhan
kelembutan.
Bang-tembangan
mamaca umumnya dengan pembacaan sebuah kakawin secara bersama-sama. Sedangkan
kakawin biasanya dalam bahasa Jawa Kawi atau Madura klasik. Di sinilah peran
panegghes atau tokang tegghes (juru makna) dimainkan. Perhelatan tersebut
biasanya untuk mengiringi prosesi ritual-ritual tertentu, misalnya selamatan
kandungan (pelet kandung), Rorokadan (rokat) seperti rokat bujuk dan pandhaba,
potong gigi (mamapar), dan sunatan.
Akar Mamaca
Bagi masyarakat Madura yang memiliki diligensi
eklektik dan animo yang kuat terhadap primordialitas budayanya, mereka tentu
membantah terhadap persepsi orang luar (Jawa) yang beranggapan bahwa mamaca
Madura merupakan embrio dari budaya Jawa. Meski sedikit banyak terdapat
pengaruh dari kebudayaan Jawa yang bersumber dari kraton, namun bukan berarti
Madura tidak mempunyai akar budaya sendiri. Mamaca Madura mempunyai ciri khas
tersendiri. Dan munculnya anggapan bahwa mamaca Madura merupakan imitasi
kebudayaan Jawa agaknya lebih terkait persoalan transfer informasi yang
terhambat.
Dinamika budaya mamaca di Madura merupakan manifestasi
defensif masyarakat terhadap kesenian yang diwariskan nenek moyangnya. Dalam
perkembangannya, ia tak lepas dari transisi ajaran Hindu di mana dalam
perkembangan berikutnya filosofi Hindu menjadi bait-bait yang mengandung nilai
filosofi Islami sebagai nilai inti (core value). Hal ini terkait peran para
mubaligh di masa lampau yang menjadikan kesenian sebagai media dalam berdakwah.
Para mubaligh terdahulu menciptakan tembang-tembang
kreatif dan inovatif yang berisi doktrin agama, puji-pujian kepada Allah,
anjuran dan ajakan untuk mencintai ilmu pengetahuan. Menyeru pesan-pesan agama:
moralitas, pencarian dan kontemplasi hakekat kebenaran dan pembentukan manusia
yang berkepribadian dan berkebudayaan. Melalui tembang mamaca tersebut, setiap
manusia diketuk hatinya untuk lebih memahami dan mendalami makna hidup.
Membawakan
mamaca
Cara
membawakannya ngangguy gaya tekanan bahasa pada ban aksen dalang e dalam
pertunjukan wayang. Selama orang memaca yang diungkapkan melalui lelagon selalu
diiringi seruling, gambang, dan alat gamelan lain yang dibunyikan dengan samara
– samara dengan tujuan suara pembaca menjadi lebih dominan. Setelah menyelesaikan
beberapa bait akan diselingi dengan gending – gending yang dimainkan
menggunakan seluruh instrument gamelan. Cirri khas yang paling menonjol adalah
suara si penembang yang diembat – embat (fibratis) berkepanjangan seakan – akan
tidak ada putus – putusnya antara bagian – bagian kalimat lagu satu dengan
lainnya. Macapat versi Madura lakar lebih nonjolaghi segi lagu dari pada
isinya. - Jenis lagu mamaca antara lain : Artatê (Jawa :
Dhandanggula), Kasmaran (Jawa : Asmarandhana), Sênom (Jawa : Sinom),
Salangêt (Jawa : Kinanthi).
0 comments:
Post a Comment