Sejarah perkembangan Islam di Bangkalan diawali
dari masa pemerintahan Panembahan Pratanu yang bergelar Lemah Dhuwur. Beliau
adalah anak Raja Pragalba, pendiri kerajaan kecil yang berpusat di Arosbaya,
kerajaan ini keberadaannya sekitar 20 km dari kota Bangkalan ke arah utara.
Panembahan Pratanu diangkat sebagai raja pada 24
Oktober 1531 setelah ayahnya, Raja Pragalba wafat. Jauh
sebelum pengangkatan itu, ketika Pratanu masih dipersiapkan sebagai pangeran,
dia bermimpi didatangi seorang Alim dan menyuruh Pangeran Pratanu untuk
memeluk agama Islam. Mimpinya ini diceritakan kepada ayahandanya selanjutnya
sang Ayah memerintahkan patih Empu Bageno untuk mempelajari Islam di Kudus.
Perintah ini dilaksanakan sebaik-baiknya, bahkan
Bageno bersedia masuk Islam sesuai saran Sunan Kudus sebelum menjadi santrinya
selama beberapa waktu lamanya. Ia kembali ke Arosbaya dengan ilmu keislamannya
dan memperkenalkannya ilmi tersebut kepada Pangeran Pratanu. Pangeran
Pratanu sempat marah setelah tahu Bageno masuk Islam mendahuluinya. Tapi
setelah dijelaskan bahwa Sunan Kudus mewajibkannya masuk Islam sebelum
mempelajari agama itu, Pangeran Pratanu menjadi maklum.
Setelah Pangeran Pratanu sendiri masuk Islam dan
mempelajari agama itu dari Empu Bageno, ia kemudian menyebarkan agama itu ke
seluruh warga Arosbaya. Akan tetapi ayahnya, Raja Pragalba sampai wafat dan
digantikan oleh Pangeran Pratanu belum masuk Islam. Jauh sebelum Pangeran
Pratanu dan Empu Bageno menyebarkan Islam, sejumlah kerajaan kecil di
Bangkalan. Diawali dari Kerajaan Plakaran yang didirikan oleh Kyai Demang dari
Sampang. Yang diperkirakan merupakan bagian dari Kerajaan Majapahit yang sangat
berpengaruh pada saat itu. Kyai Demang menikah dengan Nyi Sumekar, yang
diantaranya melahirkan Raden Pragalba. Pragalba menikahi tiga wanita.
Pratanu adalah anak Pragalba dari istri ketiga
yang dipersiapkan sebagai putera mahkota dan kemudian dikenal sebagai raja
Islam pertama di Madura. Pratanu menikah dengan putri dari Pajang yang
memperoleh keturunan lima orang :
1.
Pangeran Sidhing Gili yang memerintah di Sampang,
2.
Raden Koro yang bergelar Pangeran Tengah di Arosbaya,
Raden Koro menggantikan ayahnya ketika Pratanu wafat,
3.
Pangeran Blega yang diberi kekuasaan di Blega,
4.
Ratu Mas di Pasuruan,
5.
Ratu Ayu.
Tahun 1624, Kerajaan Arosbaya runtuh diserang
oleh Mataram pada masa pemerintahan Pangeran Mas. Pertempuran ini Mataram
kehilangan panglima perangnya, Tumenggung Demak, beberapa pejabat tinggi
kerajaan dan sebanyak 6.000 prajurit gugur.
Minggu 15 September 1624, pertempuran yang
mendadak ini merupakan perang besar dan memakan korban yang besar pula,
laki-laki dan perempuan kemedan laga. Beberapa pejuang laki-laki sebenarnya
masih bisa tertolong jiwanya. Namun ketika para wanita akan menolong mereka
melihat luka laki-laki itu berada pada punggung, mereka justru malah
membunuhnya.
Luka di punggung itu membuktikan bahwa mereka
melarikan diri, yang dianggap mengingkari jiwa ksatria. Saat keruntuhan
kerajaan itu, Pangeran Mas melarikan diri ke Giri. Sedangkan Prasena (putera
ketiga Pangeran Tengah) dibawa oleh Juru Kitting ke Mataram, yang kemudian
diakui sebagai anak angkat oleh Sultan Agung dan dilantik menjadi penguasa
seluruh Madura yang berkedudukan di Sampang dan bergelar Tjakraningrat I.
Keturunan dari Tjakraningrat inilah yang
selanjutnya mengembangkan pemerintahan kerajaan baru di Madura, termasuk
Bangkalan. Tjakraningrat I menikah dengan adik Sultan Agung. Selama
pemerintahannya kekuasaan dan kewajibnya di Madura diserahkan kepada
Sontomerto, sebab ia sering tidak berada di Sampang, ia sering pergi ke
Mataram melapor sekali setahun ditambah beberapa tugas lainnya.
Dari perkawinannya dengan adik Sultan Agung, Tjakraningrat tidak mempunyai keturunan. Setelah istrinya (adik Sultan Agung wafat), Tjakraningrat menikah dengan dengan Ratu Ibu ( Syarifah Ambani, keturunan Sunan Giri ), Baru dari perkawinan inilah Tjakraningrat dikaruniai tiga orang anak.
Dari perkawinannya dengan adik Sultan Agung, Tjakraningrat tidak mempunyai keturunan. Setelah istrinya (adik Sultan Agung wafat), Tjakraningrat menikah dengan dengan Ratu Ibu ( Syarifah Ambani, keturunan Sunan Giri ), Baru dari perkawinan inilah Tjakraningrat dikaruniai tiga orang anak.
Sedangkan dari selir yang lainnya Tjakraningrat
dikaruniai beberapa orang anak (Tertulis pada Silsilah yang ada di Asta
Aer Mata Ibu).
Tahun 1891, Bangkalan mulai berkembang
sebagai pusat kerajaan yang menguasai seluruh kekuasaan- kekuasaan di Madura,
pada masa pemerintahan Pangeran Tjakraningrat II yang bergelar Sultan Bangkalan
II. Namun Raja ini banyak berjasa kepada Belanda dengan membantu mengembalikan
kekuasaan Belanda di beberapa daerah di Nusantara bersama tentara Inggris.
Karena jasa-jasa Tjakraningrat II itu, Belanda
memberikan izin kepadanya untuk mendirikan militer yang disebut ‘Corps Barisan’
dengan berbagai persenjataan resmi modern saat itu. Bisa dikatakan Bangkalan
pada waktu itu merupakan gudang senjata, termasuk gudang bahan peledak.
Namun perkembangan kerajaan di Bangkalan justru
mengkhawatirkan Belanda setelah kerajaan itu semakin kuat, meskipun kekuatan
itu merupakan hasil pemberian Belanda atas jasa-jasa Tjakraningrat II membantu
memadamkan pemberontakan di beberapa daerah. Belanda ingin menghapus kerajaan
itu. Ketika Tjakraningrat II wafat, kemudian digantikan oleh Pangeran Adipati
Setjoadiningrat IV yang bergelar Panembahan Tjokroningrat VIII, Belanda belum
berhasil menghapus kerajaan itu. Baru setelah Panembahan Tjokroadiningrat
wafat, sementara tidak ada putera mahkota yang menggantikannya, Belanda
memiliki kesempatan menghapus kerajaan yang kekuasaannya meliputi wilayah
Madura itu.
Raja Bangkalan Dari Tahun 1531 – 1882Tahun 1531 – 1592 : Kiai Pratanu (Panembahan Lemah Duwur)
Tahun 1592 – 1620 : Raden Koro (Pangeran Tengah)
Tahun 1621 – 1624 : Pangeran Mas
Tahun 1624 – 1648 : Raden Prasmo (Pangeran Cakraningrat I)
Tahun 1648 – 1707 : Raden Undakan (Pangeran Cakraningrat II)
Tahun 1707 – 1718 : Raden Tumenggung Suroadiningrat (Pangeran Cakraningrat III)
Tahun 1718 – 1745 : Pangeran Sidingkap (Pangeran Cakraningrat IV)
Tahun 1745 – 1770 : Pangeran Sidomukti (Pangeran Cakraningrat V)
Tahun 1770 – 1780 : Raden Tumenggung Mangkudiningrat (Panembahan Adipati Pangeran Cakraadiningrat VI)
Tahun 1780 – 1815 : Sultan Abdu/Sultan Bangkalan I
(Panembahan Adipati Pangeran Cakraadiningrat VII)
Tahun 1815 – 1847 : Sultan Abdul Kadirun (Sultan Bangkalan II)
Tahun 1847 – 1862 : Raden Yusuf (Panembahan Cakraadiningrat VII)
Tahun 1862 – 1882 : Raden Ismael (Panembahan Cakraadiningrat VIII)
0 comments:
Post a Comment